Tampilkan postingan dengan label Bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Januari 2014

KETERAMPILAN MENYIMAK




A.    Hakikat Menyimak sebagai Aspek Keterampilan Berbahasa
            Menyimak merupakan salah satu aspek berbahasa yang bersifat reseptif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2003:1066), didapati pengertian menyimak yaitu mendengarkan (memperhatikan) baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang. Pada sumber yang sama (2003:251), terdapat pengertian mendengarkan yaitu dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga.  Sementara, yang dimaksud dengan mendengarkan adalah mendengar akan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
            Dari pengertian masing-masing kata, kita dapat melihat perbedaan antara ketiganya. Proses mendengar terjadi tanpa perencanaan, dengan kata lain datang secara kebetulan. Sementara dalam menyimak, faktor kesengajaan cukup besar, lebih besar daripada mendengarkan karena dalam kegiatan menyimak ada usaha memahami apa yang disampaikan pembicara, sedangkan dalam kegiatan ilakukan. Mendengarkan tingkat pemahaman belum dilakukan. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Pintamtiyastirin (1983:11) bahwa menyimak ialah mendengarkan dengan pemahaman atau pengertian, bahkan sampai ke tingkat apresiasi.
            Kegiatan menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang kompleks karena melibatkan berbagai proses menyimak pada saat yang sama. Menyimak bukan merupakan suatu proses yang pasif, melainkan suatu proses yang aktif dalam mengonstruksikan suatu pesan dari suatu arus bunyi yang di ketahui orang sebagai potensi-potensi fonologis, sematik, sintaksis suatu bahasa. Menurut Bistok, (via Sutari, dkk, 1997:21) bahwa menyimak adalah sesuatu rentetan proses, mulai dari proses mengidentifikasi bunyi, menyusun penafsiran, menyimpan, dan menghubungkan penafsiran itu dengan seluruh pengetahuan dan pengalaman.
            Menyimak mempunyai beberapa unsur dasar yang secara fundamental mewujudkan adanya suatu peristiwa atau kegiatan menyimak, yaitu: pembicara sebagai sumber pesan, penyimak sebagai penerima pesan, bahan simakan sebagai unsur konsep, dan bahasa lisan sebagai media (Sutari, dkk, 1997:42). Keempat unsur tersebut sangat berpengaruh dalam kegiatan menyimak. Salah satu dari unsur tersebut tidak ada, maka kegiatan menyimak tidak akan berjalan. Selain ditentukan oleh eksistensi unsur dasar tersebut, kualitas pelaksanaan kegiatan menyimak  juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Menurut tarigan (2006:98), faktor –faktor tersebut adalah faktor fisik, psikologis, pengalaman, sikap, motivasi, jenis kelamin, lingkungan, dan peranan dalam masyarakat.
            Delapan faktor tersebut di atas turut memengaruhi kualitas dari kegiatan menyimak yang dilakukan orang pada umumnya. Untuk dapat menyimak dengan baik, seorang penyimak harus berada pada kondisi yang siap simak karena menyimak dengan baik menuntut perhatian, pikiran, penalaran, penafsiran, dan imajinasi. Para penyimak harus memproyeksikan diri mereka ke dalam pikiran pembicara dan berupaya memahami bukan saja yang dikatakan oleh pembicara, melainkan juga apa yang dimaksudkan.
            Sutari, dkk (1997:22) mengemukakan bahwa tinggi rendahnya tingkat perhatian, pikiran, penalaran, penafsiran, dan imajinasi penyimak tergantung pada tujuan penyimak dalam melakukan kegiatan tersebut. Ada beberapa macam tujuan dalam kegiatan menyimak yang dilakukan orang pada umumnya, yaitu mendapatkan fakta, menganalisis fakta, mengevaluasi fakta atau informasi yang ada, mendaparkan inspirasi, mendapatkan hiburan, dan memperbaiki kemampuan berbicara. Perbedaan tujuan dalam kegiatan menyimak, menyebabkan adanya aneka ragam menyimak.
            Ada beberapa macam tujuan dalam kegiatan menyimak yang dilakukan orang pada umunya, yaitu: mendapatkan fakta, menganalisis fakta, mengevaluasi fakta atau informasi yang ada, mendapatkan inspirasi, mendapatkan hiburan, dan memperbaiki kemampuan berbicara.

B.     Ragam Menyimak
Secara garis besar, menyimak dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.       Menyimak ekstensif
            Menyimak ekstensif adalah sejenis kegiatan menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru.
Menyimak ekstensif terdiri dari:
1)      Menyimak sosial atau menyimak konvensional adalah menyimak yang biasanya berlangsung dalam situasi-situasi sosial tempat orang mengobrol atau bercengkrama mengenai hal-hal yang menarik perhatian semua orang yang hadir dan saling mendengarkan untuk memuat responsi-responsi yang wajar, mengikuti hal-hal yang menarik, dan memperlihatkan perhatian yang wajar terhadap apa yang dikemukakan oleh seorang rekan (Dawson, via Tarigan, 2006:37).
2)      Menyimak sekunder adalah sejenis kegiatan menyimak kebetulan dan secara ekstensif.
3)      Menyimak estetik atau menyimak apresiatif adalah fase terakhir dalam kegiatan menyimak kebetulan dan termsuk ke dalam menyimak ekstensif.
4)      Menyimak pasif adalah penyerapan suatu ujaran tanpa upaya sadar yang biasanya menandai upaya-upaya kita pada saat belajar dengan kurang teliti, tergesa-gesa, menghafal luar kepala, berlatih santai, serta menguasai sesuatu bahasa.
b.      Menyimak Intensif
            Menyimak intensif adalah jenis menyimak yang pelaksanaannya diarahkan pada suatu kegiatan yang lebih diawasi, dikontrol terhadap satu hal tertentu. Menyimak intensif terdiri atas beberapa jenis berikut.
1)      Menyimak kritis adalah sejenis kegiatan menyimak yang berupa untuk mencari kesalahan dan kekeliruan bahkan juga butir-butir yang baik dan benar dari ujaran seorang pembicara, dengan alasan yang kuat yang dapat diterima oleh akal sehat.
2)      Menyimak kreatif adalah sejenis kegiatan dalam menyimak yang dapat mengakibatkan kesenangan rekontruksi imajinatif para penyimak terhadap bunyi, penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan kinestetik yang disarankan oleh apa-apa yang disimaknya.
3)      Menyimak eksploratif adalah sejenis kegiatan menyimak intensif dengan maksud dan tujuan menyelidiki sesuatu lebih terarah dan sempit.
4)      Menyimak interogatif adalah sejenis kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan seleksi, pemusatan perhatian, dan pemilihan butir-butir dari ujaran sang pembicara, karena sang penyimak akan mengajukan sebanyak mungkin pertanyaan.
5)      Menyimak selektif adalah menyimak yang dilakukan sebagai pelengkap kegiatan menyimak pasif guna mengimbangi isolasi kultural dan tendensi kita untuk menginterprestasikan kembali ke semua yang kita dengar dengan bantuan bahasa yang telah kita kuasai.
6)      Menyimak konsentratif sering juga di sebut  a study-type atau menyimak yang kegiatannya sejenis dengan telaah.

C.     Teknik Menyimak
            Langkah pertama dari kegiatan keterampilan menyimak ialah proses psikomotorik untuk menerima gelombang suara melalui telinga dan mengirimkan impuls-impuls tersebut ke otak.
            Menurut Brawn (via Iskandarwassid, 2008: 227-228), terdapat delapan proses dalam kegiatan menyimak, yaitu
1.      Pendengar memproses raw speech dan menyimpan image darinya dalam short term memory.
2.      Pendengar menentukan tipe dalam setiap peristiwa pembicaraan yang sedang diproses.
3.      Pendengar mencari maksud dan tujuan pembicara dengan mempertimbangkan bentuk dan jenis pembicaraan, konteks, dan isi.
4.      Pendengar me-recall latar belakang informasi (melalui skema yang ia miliki) sesuai dengan konteks subjek masalah yang ada.
5.      Pendengar mencari arti literal dari pesan yang ia dengar.
6.      Pendengar menentukan arti yang dimaksud.
7.      Pendengar mempertimbangkan apakah informasi yang ia terima harus disimpan di dalam memorinya atau ditunda.
8.      Pendengar menghapus bentuk pesan-pesan yang telah ia terima.

D.    Tujuan Pembelajaran Menyimak
            Semi (1993: 98) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran  menyimak pada semua jenjang pendidikan pada dasarnya dibedakan menjadi 2, yaitu
1.      Persepsi, yakni ciri kognitif dari proses mendengarkan yang di dasarkan pemahaman pengetahuan tentang kaidah-kaidah kebahasaan.
2.      Resepsi, yakni pemahaman pesan atau penafsiran pesan yang dikehendaki oleh pembicara.
Bila kedua hal itu dijabarkan lagi maka dapat dikemukakan bahwa tujuanpembelajaran menyimak sebagai berikut .
1.    Siswa memiliki keterampilan mengenal segi kognitif tentang kaidah-kaidah            kebahasaan.
2.    Siswa memiliki keterampilan mendengarkan dan mengamati dngan cermat apa yang          diucapkan orang kepadanya.
3.    Siswa mampu mengingat hubungan apa yang sudah dan sedang dibicarakan orang             kepadanya.
4.    Dapat menghayati dan menangkap bagian-bagian penting suatu pernyataan,           sehingga dapat menjawab pertanyaan dengan tepat.
5.    Siswa mampu menghubungkan ide-ide yang berbeda dalam suatu diskusi.

E.     Teknik Pembelajaran Menyimak
            Menyimak merupakan kemampuan berbahasa pertama yang kita pelajari dan dapatkan, jauh sebelum kita mempelajari dan mendapatkan kemampuan berbahasa lainnya. Sebelum membahas teknik pembelajaran menyimak, terlebih dulu akan diuraikan perbedaan pendekatan, metode, dan teknik. Pendekatan adalah asumsi atau pendirian mengenai bahasa dan pembelajaran bahasa atau bisa dikatakan ‘falsafah tentang pembelajaran bahasa’. Metode adalah tingkat yang menerapkan teori-teori pada tingkat pendekatan. Teknik mengacu pada pengertian implementasi kegiatan belajar-mengajar.
            Tarigan (1986: 52-73) mengemukakan beberapa macam teknik pembelajaran dalam menyimak, sebagai berikut.
a.       Dengar-Ulang Ucap
b.      Dengar-Tulis (Dikte)
c.       Dengar-Kerjakan
d.      Dengar-Terka
e.       Memperluas Kalimat
f.       Menemukan Benda
g.      Siman Berkata
h.      Bisik Berantai
i.        Menyelesaikan Cerita
j.        Identifikasi Kata Kunci
k.      Identifikasi Kalimat Topik
l.        Menyingkat/Merangkum
m.    Parafrase
n.      Menjawab Pertanyaan









Sabtu, 28 Desember 2013

PENGERTIAN DAN RAGAM SASTRA ANAK



  A.  Pengertian Sastra Anak

Sastra anak-anak merupakan karya yang dari segi bahasa memiliki nilai estetis dan dari segi isi mengandung nilai-nilai yang dapat memperkaya pengalaman rohani bagi kalangan anak-anak. Pramuki (via Abd. Halik, 2008) mengungkapkan bahwa sastra anak-anak adalah karya sastra (prosa, puisi, drama) yang isinya mengenai anak-anak sesuai kehidupan, kesenangan, sifat-sifat, dan perkembangan anak-anak. Sedangkan menurut Solehan dkk (via Abd. Halik 2008) membagi perngertian sastra anak-anak atas dua bagian yakni sebagai berikut:
1.       Sastra anak adalah sastra yang ditulis oleh pengarang yang usianya remaja atau dewasa yang isi dan bahasanya mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian anak.
2.       Sastra anak adalah sastra yang ditulis oleh pengarang yang usianya masih tergolong anak-anak yang isi dan bahasanya mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian anak.
Dengan demikian, sastra anak-anak  dapat dikatakan bahwa suatu karya sastra yang bahasa dan isinnya sesuai perkembangan usia dan kehidupan anak, baik ditulis oleh pengarang yang sudah dewasa, remaja atau oleh anak-anak itu sendiri. Karya sastra yang dimaksud bukan hanya yang berbentuk puisi dan prosa, melainkan juga bentuk drama.

 B.  Ragam Sastra Anak
                Beberapa alasan perlunya pembicaraan genre, yaitu
1.       Memberikan kesadaran kepada kita bahwa pada kenyataannya terdapat berbagai genre sastra anak selain cerita atau lagu-lagu bocah yang telah familiar, telah dikenal, dan diakrabi.
2.       Elemen struktural sastra dalam tiap genre berbeda.
3.       Memperkaya wawasan terhadap adanya kenyataan sastra yang bervariasi yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk memilihkan bagi anak.
                                Secara garis besar genre sastra di kelompokkan menjadi 6 macam, yaitu:
1.       Realisme
                Realisme dalam sastra dapat dipahami bahwa cerita yang dikisahkan itu mungkin saja ada dan terjadi walau tidak harus bahwa ia memang benar-benar ada dan terjadi. Ada beberapa cerita yang dikategorikan dalam realisme yaitu sebagai berikut.
a.       Cerita realisme biasanya bercerita tentang masalah-masalah sosial dengan menampilkan tokoh utama protagonis sebagai pelaku cerita.
b.      Realisme Binatang yaitu cerita binatang yang bersifat nonfiksi.
c.       Realisme Historis mengisahkan peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
d.      Realisme Olahraga yaitu cerita tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dunia olahraga.
2.       Fiksi Formula
                Jenis cerita yang dapat dikategorikan ke dalam fiksi formula adalah sebagai berikut.
a.       Cerita misterius dan detektif
b.      Cerita romantic menampilkan kisah yang simplisistis dan sentimentalis hubungan laki-perempuan, dan itu seolah-olah merupakan satu-satunya fokus dalam kehidupan remaja.
c.       Novel serial yaitu novel yang diterbitkan secara terpisah, namun novel-novel itu merupakan satu-kesatuan unit.
3.       Fantasi
                Jenis sastra yang dapat dikelompokkan ke dalam fantasi ini dalah sebagai berikut.
a.       Cerita fantasi yaitu cerita yang menampilkan tokoh, alur, atau tema yang derajat kebenarannya diragukan baik menyangkut (hampir) seluruh maupun hanya sebagian cerita.
b.      Fantasi tinggi dimaksudkan sebagai cerita yang pertama-tama ditandai adanya fokus konflik antara yang baik dan yang jahat, antara kebaikan dan kejahatan.
c.       Fiksi sains
4.       Sastra tradisional
                Jenis cerita yang dikelompokkan ke dalam genre ini adalah sebagai berikut.
a.       Fabel yaitu cerita binatang yang dimaksudkan sebagai personifikasi karakter manusia.
b.      Dongeng rakyat diceritakan secara lisan dan turun-temurun sehingga selalu terdapat variasi penceritaan walau isinya kurang lebih sama.
c.       Mitos yaitu cerita yang berkaitan dengan dewa-dewa atau tentang kehidupan supernatural yang lain, juga sering mengandung sifat pendewaan manusia atau manusia keturunan dewa.
d.      Legenda menampilkan tokoh sebagai hero yang memiliki kehebatan tertentu dalam berbagai aksinya dan itu sangat mengesankan.
e.      Epos berisi cerita kepahlawanan seorang tokoh hero yang luar biasa hebat baik dalam kesaktian maupun kisah petualangannya.
5.       Puisi
                Genre puisi anak dapat berwujud sebagai berikut.
a.       Puisi-puisi lirik yaitu puisi yang berupa tembang-tembang anak tradisional dan tembang-tembang ninabobo.
b.      Puisi naratif yaitu puisi yang didalamnya mengandung cerita atau cerita yang dikisahkan dengan cara puisi.
c.       Puisi personal yaitu puisi modern yang sengaja ditulis untuk anak-anak baik oleh penulis dewasa maupun anak-anak itu sendiri.
6.       Nonfiksi
                Bacaan nonfiksi dapat dikelompokkan ke dalam subgenre buku informasi dan biografi.
   C. Ideologi dan Sastra Anak
                Pada hakikatnya tujuan dari karya sastra anak adalah memberikan informasi kepada anak. Informasi dalam sastra anak terkait dengan ideologi yang akan disampaikan oleh penulis. Selain memberikan informasi, sastra anak juga bersifat untuk memberikan hiburan dan manfaat kepada anak. Sastra anak pada dasarnya ingin menyajikan bacaan yang bermanfaat pada anak. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka ada ideologi yang akan disampaikan penulis. Ideologi-ideologi dari penulis bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai (value) dalam kehidupan penyampaian ideologi untuk anak membutuhkan cara tersendiri karena sastra anak adalah bacaan untuk anak-anak sehingga membutuhkan perhatian yang khusus.
                Cara untuk menyampaikan ideologi kepada anak harus diperhatikan oleh penulis. Hal itu disebabkan oleh sifat ideologi itu tidak dapat disampaikan secara terpisah-pisah. Selain itu, harus diingatkan pula bahwa karya itu harus mengandung ideologi secara utuh. Untuk itu ideologi harus menyatu dalam pemilihan kata-kata, susunan kalimat, narasi, plot, penokohan, pengakhiran cerita, dan solusi cerita. Untuk lebih jelasnya bahwa ideologi sastra anak menyatu dengan unsur intrinsik sastra, yaitu sebagai berikut.
1.       Pemilihan kata-kata (diksi)
        Sastra anak adalah bacaan untuk anak-anak, jadi untuk memasukkan ideologi dalam sastra anak anak harus menggunakan bahasa anak. Untuk mempermudah agar anak mengerti pesan/maksud dari cerita anak, maka harus memilih kata-kata yang tepat. Pemilihan kata dalam sastra anak cenderung  sederhana dan sering didengar/dijumpai anak, sehingga anak tidak akan kesusahan. Hal itu disebabkan oleh jumlah ketrbatasan kosa kata yang dimiliki anak. Contoh: dongeng anak untuk anak TK bertujuan untuk menanamkan nilai kedisiplinan, maka judulnya lebih baiknya sederhana. Misalnya “bangun pagi”, kata bangun pagi adalah kata yang sudah biasa mereka dengar. Dari pertanyaan jam berapa kalian bangun pagi?, selain itu anak akan mudah berasosiasi maksud dari bacaan yang akan mereka baca.
2.       Susunan kalimat
        Ide pokok dalam bacaan terdapat dalam rangkaian kalimat. Kalimat sendiri terdiri dari dari deretan kata. Dengan demikian penulis harus menyusun kalimat yang cenderung pendek-pendekdan mudah dipahami jika dikaitkan dengan kalimat-kalimat lain. Hal itu perlu diingat bahwa ideologi merupakan suatu kesatuan utuh yang tertuang dalam keterpautan kalimat. Selain itu perlu mengingat bahwa kemampuan anak dalam mencerna kalimat, karena kalimat yang panjang cenderung membingungkan untuk dipahami si anak. Hal itu disebabkan oleh kemampuan memahami makna kalimatadalah tahapan  tinggi dalam kegiatan membaca.  Contoh: ini menggambarkan suasana pegunungan, maka dengan kata-kata yang mudah dipahami oleh anak.
3.       Narasi
        Narasi yaitu gaya penceritaan. Narasi pada cerita anak sebaiknya alurnya jangan terlalu panjang, lebih baik pendek. Karena kita tahu anak tidak menyukai baca-bacaan yang panjang. Selain itu harus jelas urutan waktunya jangan bersifat flashback karena anak pemikirannya masih linier.
4.       Plot
        Alur cerita pada bacaan anak sebaiknya beralur progresif, karena kita tahu bahwa anak masih suka berpikir linear. Berpikir linear adalah berpikir dengan pusat pada satu fokus. Untuk itu penulis akan lebih mudah memasukkan ideologi dengan satu arah melalui plot cerita.
5.       Penokohan
        Penokohan merupakan sarana yang paling mudah untuk memasukan sebuah ideologi ke dalam cerita karena melalui tokoh-tokoh inilah nilai nantinya akan dibawa untuk kemudian sampai kepada si anak. Dengan memanfaatkan karakter tokoh yang menarik dan sederhana  akan menjadi daya tarik si anak. Selain itu dalam penokohan harus memanfaatkan plot cerita dengan rangkaian peristiwa sederhana, sehingga akan terbentuk dalam kesatuan narasi cerita.
6.       Pengakhiran cerita
        Ideologi dalam cerita anak biasanya akan terlihat pada akhir cerita. Pengakhiran cerita ada yang berbentuk langsung, ada yang tidak langsung. Langsung atau tidak langsung pengakhiran cerita terkait dengan kesimpulan cerita. Padahal kita tahu, kesimpulan berkait dengan ideologi yang ingin disampaikan penulis. Ideologi tersebut dapat tertangkap dari makna/pesan dalam kesimpilan cerita.
7.       Solusi cerita
        Sebenarnya solusi cerita hampir sama dengan pengakhiran cerita. Pengakhiran cerita lebih menekankan pada kesimpulan cerita, sedangkan solusi cerita berkompeten pada nasihat-nasihat untuk menanggapi kesimpulan cerita. Padahal kita tahu nasihat cerita  adalah nilai (value) kehidupan yang disampaikan oleh penulis secara tidak langsung. Sehingga ideologi pengarang tidak akan lepas dari suatu bacaan anak.
        Cara kerja terbaik sebuah ideologi dalam sastra anak tentu tidak terlepas pada tahap perkembangan  anak. Tiga cara kerja ideologi dalam sastra pada dasarnya posisi yang sama atau sejajar. Yang membedakan hanyalah karakteristiknya saja sehingga ketika kita bicara ideologi dalam karya sastra anak maka tidak bisa kita lepaskan dengan karya sastra yang disajikan untuk tahap perkembangan anak level apa.
        Ideologi  pasif dan bawah sadar memang dianggap sebagai ideologi yang memiliki potensi yang membahayakan akan tetapi ideologi ini akan membantu anak lebih eksploratif dan mampu mengembangkan kognisi secara proksimal. Ketika level anak sudah 6 tahun ke atas maka ideologi aktif akan tampak seperti sebuah pencekokan pada anak, dikte dan sebuah cara mengganjal anak dengan hal-hal yang pada dasarnya telah dapat dicerna anak dengan cara menyimpulkan. Ideologi  yang aktif (sengaja diberikan secara konkret) dibutuhkan oleh anak ketika dia pada fase imitasi dan selebihnya ideologi pasif akan lebih baik untuk diterapkan.
        Anak adalah sebuah keajaiban dalam dunia ini. Dia bukan manusia inferior apalagi boneka orang dewasa. Yang dianggap lucu dan ketika kekritisannya muncul dia akan dianggap sebagai manusia bodoh yang suka mengada-ada. Baik tidaknya sebuah kerja ideologi dalam karya juga bergantung pada bagaimana orang dewasa mau berperan dalam pembentukan sikap anak lewat sastra. Satu hal yang penting adalah bagaimana interaksi sosial antara orang dewasa dengan anak sehingga anak terbantu untuk memunculkan  dan memaksimalkan perkembangan dalam zona perkembangan proksimal melalui sastra dan secara tidak langsung melalui ideologinya yang terkandung di dalamnya.

 Sumber: Bahan Ajar Mata kuliah B.Indonesia 2 (Sastra Indonesia) Dr.Sunarti, M.Pd. dan Deri Anggraini, M.Pd.